Meski baru 19 tahun, Vanessa Adeline sesaat lagi akan lulus dengan gelar Bachelor of Arts in Liberal Arts with concentration in Mass Communication (Mass Comms) dari Oklahoma City University, melalui Management Development Institute of Singapore (MDIS). Gelar ini kurang lebih setara dengan gelar S1 di Indonesia, dimana kebanyakan orang baru mendapatkannya di usia 21 tahun ke atas.
Bagaimana bisa begitu?
Singkat cerita, Vanessa mengambil ujian O Level di Indonesia, kemudian mengambil program Diploma (setingkat dengan D3) di MDIS selama dua tahun, dan dilanjutkan dengan program Degree selama 18 bulan.
Vanessa pindah ke Singapura saat baru menginjak usia 16 tahun, mengikuti jejak kakaknya yang dulu kuliah ke Singapura saat baru berusia 15 tahun (kakaknya lahir di bulan November, sementara ia lahir di bulan Januari). Aslinya, dia tinggal di Cibubur.
“Tapi di Singapura, aku selalu bilang kalau aku dari Jakarta, biar lebih gampang!” ujarnya sambil tertawa.
Semasa SD hingga pertengahan SMP, Vanessa bersekolah di Sekolah Pelita Harapan (SPH) Sentul, sebelum akhirnya pindah ke Morning Star Academy (MSA) di Kuningan, Jakarta. Didirikan pada tahun 2002, MSA merupakan sekolah classical Christian yang menyediakan kurikulum IGCSE.
IGCSE, singkatan dari International General Certificate of Secondary Education, merupakan kurikulum berbahasa Inggris yang dibuat oleh University of Cambridge International Examinations. Kurikulum IGCSE ini sepantaran dengan O Level, sebuah ujian kualifikasi yang digunakan di Singapura. Ujian O Level merupakan persyaratan minimum untuk masuk ke politeknik maupun program Diploma.
“Koko kan ingin masuk ke program Diploma Nanyang Academy of Fine Arts (NAFA), di situ tidak perlu ikut ujian O Level. Sementara, MDIS mewajibkan kita mengambil ujian O Level,” jelas Vanessa. “Karena dulu SPH tidak menyediakan kurikulum IGCSE, makanya aku pindah ke MSA. MDIS juga mewajibkan kita mengambil tes IELTS, meskipun sebenarnya tes O Level sendiri juga sudah dalam bahasa Inggris.”
Setelah lulus ujian O Level di kelas 10 dan mengambil tes IELTSnya, Vanessa segera pindah ke Singapura. Keluarganya menggunakan agen untuk membantu proses pendaftaran ke MDIS. Vanessa mengambil tanggal masuk — atau intake — yang terdekat.
Tidak seperti universitas pada umumnya, MDIS memiliki beberapa intake sepanjang tahunnya. Vanessa menerangkan bahwa tiap angkatan — disebut sebagai batch — selalu mengambil kelas bersama-sama dari awal program Diploma hingga akhir.
“Kalau universitas lain kan biasanya bisa memilih kelas sendiri, di MDIS tidak. Jadwalnya sudah ditentukan,” tambahnya. “Nanti baru setelah lulus program Diploma (setelah 2 tahun) dan melanjutkan ke program Degree, teman sekelasnya berbeda. Satu batch lumayan sedikit. Sekarang saja untuk Degree, satu kelasku isinya cuma 12 orang.”
Bosan tidak sih bertemu dengan orang yang itu-itu lagi?
Mendengar pertanyaan ini, Vanessa kembali tertawa, “Ya… Lumayan! Hahaha! Tapi lama-lama malah jadinya sreg. Dan aku juga punya teman lain di luar batch. Aku bertemu mereka melalui aktivitas klubku.”
Hobi yang produktif.
Sejak kelas 7, Vanessa sudah gemar bereksperimen dengan video editing. Dia mengaku bahwa dia selalu berusaha menggunakan video untuk tugas sekolahnya, seperti saat melakukan presentasi. Jika murid-murid pada umumnya menggunakan PowerPoint, Vanessa lebih memilih menggunakan video. Kalaupun diwajibkan menggunakan PowerPoint, dia tetap akan berusaha memasukan video singkat di dalam PowerPointnya.
“Menurutku membuat video itu seru!” ujarnya dengan penuh semangat.
Selain membuat video, Vanessa juga hobi menyanyi dan menggambar. Dia sempat menjadi anggota grup paduan suara di SPH, sementara saat di MSA, Vanessa aktif dalam dunia musical dan sempat memerankan Belle di pementasan “Beauty and the Beast”. Tapi hobi bernyanyi dan berpentas ini tidak dia lanjutkan saat berkuliah di MDIS, lantaran tidak ada kesempatan.
Meski begitu, hobinya membuat video dan menggambar ternyata sangat membantunya saat berkuliah.
Vanessa bercerita bahwa ia pernah harus membuat proposal untuk kampanye iklan untuk tugas kuliah. Untuk mock-up iklannya, Vanessa membuat seluruh gambarnya sendirian. Keahliannya menggunakan Photoshop ia pelajari sendiri dari hobinya menggambar. Ia bahkan membantu membuatkan gambar-gambar iklan untuk temannya yang mengerjakan tugas serupa. Sebagai gantinya, temannya membantu Vanessa dalam mengerjakan naskah iklan, karena itu merupakan kekurangan Vanessa.
Untuk kemampuannya dalam membuat video, Vanessa tidak hanya menggunakannya untuk mengerjakan tugas kuliah, tapi juga dalam beraktifitas di klub Media.
“Di klub Media itu kita membuat video, siaran radio, atau photoshoot. Kliennya sih dari pihak MDIS juga,” tutur Vanessa. “Dulu aku pernah harus mengerjakan proyek video tentang sains, dan untuk proyek itu, aku bekerja sama dengan orang dari Faculty of Science. Dari situ jadi kenalan. Ada juga orang-orang dari jurusan fesyen yang butuh pertolongan dari klub Media untuk photoshoot.”
Selain aktifitas klub, cara lain untuk bertemu dengan orang di luar batch adalah dengan mengunjungi acara-acara yang diselenggarakan oleh pihak MDIS. Namun Vanessa berpendapat bahwa cara yang terbaik adalah tetap dengan mengikuti sebuah klub.
Vanessa menjelaskan, “Sejujurnya, menurutku acara kampus itu sedikit garing. Tidak begitu banyak pengunjungnya. Tapi begitu kamu masuk ke dalam sebuah klub, lingkaran pertemananmu otomatis akan bertambah besar.”
MDIS memiliki berbagai jenis klub, seperti klub fotografi, klub dansa, klub badminton, dan klub Angel Heart — sebuah kumpulan sukarelawan yang bekerja untuk membantu komunitas sekitar. Ada juga organisasi pelajar Indonesia, tetapi Vanessa tidak mengikuti organisasi tersebut.
“Bukannya aku tidak mau bergaul dengan orang Indonesia. Tapi aku lebih suka ikut klub Media yang orang-orangnya lebih beragam,” terangnya.
Tapi begitu Vanessa lulus program Diploma dan memasuki program Degree, ia memutuskan untuk keluar dari klub Media agar dapat lebih fokus dengan tugas kuliahnya.
Warna-warni cara mengendalikan tekanan mental.
Program kuliah di MDIS itu cepat dan intensif. Untuk Degree Mass Comms, programnya berlangsung selama 18 bulan saja. Artinya, para pelajarnya — termasuk Vanessa — harus menghadapi ujian akhir nyaris setiap bulan. Selain kurikulumnya yang intensif dan berat, Vanessa juga termasuk pelajar yang ambisius.
“Begitu aku masuk kuliah untuk program Diploma, aku sudah dijuluki sebagai spoil market oleh teman-teman sekelasku,” tuturnya. “Soalnya aku selalu berusaha keras untuk membuat tugas yang bagus, meskipun kadang-kadang itu di luar persyaratan tugas tersebut. Misalnya, aku pernah membuat video iklan yang lengkap dengan animasi logo produk. Tapi meskipun aku dijuluki seperti itu, teman-teman sekelas masih suka kok dengan aku. Malah mereka ingin satu grup denganku!”
Meski begitu, Vanessa juga sempat merasa tertekan dengan bobot kuliahnya. Puncaknya adalah saat mengambil kelas politik di awal tahun 2016, saat ia baru memulai program Degree-nya. Suatu hari saat sedang membicarakan soal ujian, Vanessa menyadari bahwa jawabannya untuk ujian tersebut sangat berbeda dari teman-temannya. Hal tersebut membuatnya kecewa, dan ia pun banyak menangis diam-diam. Akhirnya, kakaknya menyarankan Vanessa untuk lebih tenang sedikit.
“Sejak itu, aku bilang pada diriku sendiri: ‘You should take it easy sometimes’,” kata Vanessa. “Eh, sekarang malah terlalu santai deh!” lanjutnya dengan tawa.
Ia mengaku bahwa ia tidak lagi belajar untuk ulangan. Meski demikian, bukan berarti nilai pelajarnya menjadi jeblok. Saat diwawancara, Vanessa membagi rahasia suksesnya.
“Color coding!” ujar Vanessa sambil berseri-seri. Ia kemudian mengeluarkan sebuah kotak yang berisi tumpukan buku catatan lamanya. Tiap halaman catatannya ditata rapi, dan dikelompokan dengan menggunakan pena stabilo yang berwarna-warni. “Aku selalu memperhatikan guru di kelas, dan aku selalu mencatat. Karena itu aku tidak perlu terlalu banyak belajar untuk ulangan. Menurutku, catatan yang berwarna-warni itu membantuku dalam menyerap pelajaran. Aku tidak suka kalau tidak ada warnanya.”
Buku catatan rapi yang berwarna-warni adalah salah satu dari sekian banyak hal kecil yang membuat Vanessa lebih senang dalam belajar. Hal lainnya adalah fountain pen, sebuah jenis pulpen yang isinya dapat digonta-ganti dengan berbagai jenis tinta. Dengan fountain pen, Vanessa merasa lebih bersemangat dalam mencatat. Selain itu, ia juga jadi lebih bersemangat dalam mengisi absen kelas.
“Kalau anak-anak lain biasanya menggunakan tinta hitam atau biru. Kalau aku selalu gonta-ganti. Kadang hot pink, kadang ungu, kadang biru muda. Jadinya aku beda sendiri!” tuturnya dengan antusias. “Aku juga sudah biasa dikenal sebagai anak yang pakai baju aneh. In a way, low key, I like to stand out in the crowd. Because I don’t want to be the same. Why do you want to be the same?”
Hadiah terbaik untuk orangtua.
Menjadi seorang mahasiswi di usia 16 tahun tentunya bukanlah hal yang mudah. Apalagi menjadi mahasiswi di negara lain, jauh dari teman dan keluarganya. Saat pindah ke Singapura, Vanessa tidak kenal siapapun kecuali kakaknya yang saat itu telah lulus dari program Diploma NAFA. Meski demikian, dia tidak takut maupun ragu dengan keputusannya.
“Kebanyakan teman-temanku kaget saat aku memutuskan untuk kuliah di usia 16 tahun,” Vanessa mengatakan. “Pemikirannya berbeda. Tidak ada teman-teman di sekolah lamaku yang ingin melakukan hal yang sama denganku. Teman serumahku yang sudah kerja malah bilang kalau aku seharusnya lebih cherish the moment sebagai seorang pelajar.”
Vanessa mengatakan bahwa ia sadar dirinya merupakan seseorang yang sangat beruntung. Sejak kecil, ia selalu didorong oleh orangtuanya untuk berprestasi. Ia juga selalu bersekolah di sekolah yang menggunakan bahasa Inggris seperti SPH dan MSA. Karena itu, Vanessa tidak mengalami kesulitan sama sekali dalam mengambil tes kemampuan bahasa Inggris (ia mengaku ia tidak banyak belajar untuk mempersiapkan diri untuk IELTS). Ibunya juga sangat berjasa dalam membantunya mendaftarkan diri ke MDIS, sehingga Vanessa tidak perlu kelimpungan mencari-cari tahu cara pindah ke Singapura.
Selain itu, sebagai seorang pelajar internasional di MDIS, Vanessa tidak diperbolehkan untuk mengambil kerja sampingan di Singapura. Ini merupakan hukum yang telah ditentukan oleh pemerintah Singapura. Karena itu, Vanessa masih mendapatkan uang saku dari orangtuanya.
“Tapi aku tahu tidak semua orang seberuntung aku, dan ada teman-temanku yang harus kerja sampingan agar dapat memperoleh uang saku,” jelas Vanessa. “Makanya aku ingin cepat selesai kuliah, agar bisa segera mencari uang sendiri. Jadi nanti orangtuaku tidak harus memberiku uang lagi.”
Dengan senyuman, Vanessa melanjutkan, “Isn’t that the nice thing to do for your parents?”